Sunan Kudus: Wali yang Bijak dan Simbol Toleransi Umat Beragama

Latar Belakang dan Asal Usul


Nama asli Sunan Kudus adalah Ja’far Shadiq, seorang ulama besar yang lahir dari keluarga terpandang. Ia adalah putra dari Sunan Ngudung, seorang panglima perang Kesultanan Demak, dan Syarifah, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Sayyidina Husain. Garis keturunannya ini menjadikan Sunan Kudus bukan hanya dihormati karena keilmuannya, tapi juga karena nasabnya yang mulia.


Sunan Kudus lahir di kota kecil bernama Loram, yang kelak berganti nama menjadi Kudus. Sejak kecil, ia telah menunjukkan kecerdasannya dalam ilmu agama. Ia menimba ilmu dari ayahnya sendiri, lalu melanjutkan belajar ke berbagai tempat. Salah satu guru pentingnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dua tokoh Walisongo yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.


Dalam banyak kisah, Ja’far Shadiq dikenal sebagai seorang anak yang tekun, tidak banyak bicara, tapi sangat peka terhadap keadaan sosial di sekitarnya. Kepekaannya inilah yang kelak menjadikan ia seorang pendakwah yang begitu dihormati.



Nama “Kudus” yang Sarat Makna

Loram berubah nama menjadi Kudus bukan tanpa alasan. Kata “Kudus” berasal dari kata al-Quds, nama lain dari kota Yerusalem – kota suci tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Sunan Kudus memilih nama ini sebagai simbol harapan agar kota tempatnya berdakwah menjadi tempat yang suci, damai, dan penuh toleransi.

Cerita rakyat menyebutkan bahwa perubahan nama ini dilakukan setelah Sunan Kudus selesai membangun sebuah masjid yang sangat unik – Masjid Menara Kudus – yang bentuknya menyerupai bangunan candi Hindu. Dari sini terlihat bahwa sejak awal, Sunan Kudus sudah menanamkan semangat keberagaman dan kedamaian dalam setiap ajaran dan langkah hidupnya.



Metode Dakwah Sunan Kudus


1. Mengedepankan Toleransi Agama

Salah satu kisah paling terkenal adalah saat Sunan Kudus melarang umat Islam menyembelih sapi di wilayahnya. Bukan karena alasan agama semata, tetapi karena ia menghormati keyakinan umat Hindu, yang memandang sapi sebagai hewan suci.

Kebijakan ini sempat membuat beberapa orang Islam bertanya-tanya, tapi Sunan Kudus menjawab dengan tenang, “Agama yang datang membawa rahmat, bukan kebencian.” Ia lalu menyarankan agar umat Islam menyembelih kerbau atau kambing sebagai pengganti, sehingga harmoni tetap terjaga.

Kisah ini menunjukkan betapa tingginya rasa empati dan toleransi Sunan Kudus. Ia tak ingin agama Islam ditolak karena dianggap merusak budaya lokal. Justru sebaliknya, ia berusaha agar Islam diterima dengan cara damai dan lembut.


2. Memanfaatkan Simbol Hindu-Buddha

Masjid Menara Kudus dibangun dengan arsitektur khas Majapahit: menggunakan bata merah dan berbentuk menyerupai candi Hindu. Menaranya digunakan untuk mengumandangkan azan, yang kala itu menjadi hal baru bagi masyarakat setempat.

Konon, masyarakat Hindu dan Buddha kala itu terkejut. “Bangunan ini seperti candi, tapi dari dalam terdengar azan?” tanya mereka. Sunan Kudus tersenyum, “Inilah Islam yang menghormati warisan nenek moyang kalian.”

Tak hanya itu, Sunan Kudus juga menggunakan gamelan dan pewayangan untuk berdakwah. Ia memasukkan nilai-nilai tauhid dalam kisah pewayangan, seperti menjadikan tokoh Semar sebagai simbol kearifan dan keimanan. Lewat pendekatan budaya ini, ajaran Islam terasa akrab dan tidak asing.


3. Mengajarkan Ilmu Fiqih dan Hukum Islam

Selain pendekatan budaya, Sunan Kudus adalah seorang ulama fiqih yang sangat mendalam ilmunya. Ia dikenal sebagai pengajar kitab-kitab penting, termasuk Kitab Taqrib, yang hingga kini masih digunakan di banyak pesantren.

Ia membimbing para santri dengan penuh kesabaran, menanamkan pemahaman yang kuat tentang syariat Islam, akidah, serta logika berpikir yang kritis. Banyak santri yang kemudian menjadi pendakwah besar di berbagai wilayah Nusantara, membawa semangat toleransi dan kedalaman ilmu seperti gurunya.


4. Mengajarkan Kesederhanaan

Sunan Kudus hidup tanpa kemewahan. Ia tidak membangun rumah besar, tidak memakai pakaian mahal, dan selalu berbaur dengan masyarakat kecil. Dalam satu cerita, seorang saudagar kaya hendak memberinya hadiah berupa kain mahal. Tapi Sunan Kudus menolak sambil berkata, “Kain ini terlalu halus untuk punggung yang akan kembali ke tanah.”

Dari sini terlihat bahwa Sunan Kudus lebih mementingkan isi hati dan amal baik daripada simbol kekayaan. Kesederhanaannya membuat dakwahnya lebih mudah diterima oleh rakyat jelata.



Peninggalan Penting Sunan Kudus


1. Masjid Menara Kudus: Simbol Harmoni Islam dan Budaya Lokal


Salah satu peninggalan paling terkenal dari Sunan Kudus adalah Masjid Al-Aqsa, yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tapi juga ikon budaya dan arsitektur Islam-Jawa-Hindu yang unik. Dibangun pada tahun 1549 M, masjid ini memiliki ciri khas yang sangat berbeda dari masjid-masjid lain di Indonesia: sebuah menara dari batu bata merah yang menyerupai bangunan candi Hindu Majapahit.

Menurut cerita masyarakat, menara tersebut dulunya digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, menggantikan fungsi menara ala Timur Tengah. Di sanalah terlihat betapa Sunan Kudus dengan cermat menggabungkan unsur lokal ke dalam syiar Islam.

Ada kisah menarik dari pembangunan masjid ini. Konon, saat membangunnya, Sunan Kudus mengajak warga setempat yang masih menganut Hindu-Buddha untuk turut serta. Mereka pun merasa dilibatkan, bukan ditinggalkan, dalam proses perubahan yang besar ini. Maka, saat masjid selesai dibangun, masyarakat dari berbagai agama tidak merasa asing dengan kehadiran Islam, sebab ia datang bukan sebagai pemutus, tetapi sebagai jembatan dari nilai-nilai luhur yang sudah mereka anut sebelumnya.


2. Kitab-Kitab Islam: Warisan Intelektual Sang Ahli Fiqih

Sunan Kudus bukan hanya seorang dai, tapi juga ulama besar ahli fiqih yang sangat dihormati. Ia dikenal produktif dalam menulis dan mengajarkan ilmu agama, terutama hukum-hukum Islam. Salah satu kitab yang terkenal adalah Kitab Taqrib, sebuah karya fiqih yang banyak dirujuk di pesantren-pesantren hingga hari ini.

Dikisahkan, Sunan Kudus sering menggelar pengajian di serambi masjid, ditemani para santri dari berbagai daerah. Ia tidak sekadar membacakan isi kitab, tapi menjelaskan dengan contoh-contoh kehidupan sehari-hari agar mudah dipahami. Misalnya, saat menjelaskan tentang rukun wudhu, ia pernah mempraktikannya sambil menyentil pentingnya menjaga kebersihan diri, hati, dan ucapan.

Ilmu yang diajarkan tidak terbatas pada fiqih, tetapi juga tauhid, akidah, hingga akhlak. Santri-santrinya kelak menjadi penerus dakwah Islam di berbagai daerah, menjadikan ajaran Sunan Kudus tersebar luas, bahkan hingga keluar Jawa.


3. Tradisi Dandangan: Kearifan Lokal Sambut Bulan Suci


Tradisi Dandangan adalah salah satu warisan budaya yang berakar dari masa Sunan Kudus. Dandangan merupakan perayaan khas masyarakat Kudus dalam menyambut bulan Ramadan. Konon, Dandangan pertama kali digelar oleh Sunan Kudus sebagai cara untuk mengumumkan kedatangan bulan puasa dengan cara yang meriah namun sarat nilai keislaman.

Cerita masyarakat menyebutkan bahwa Sunan Kudus memukul bedug besar di depan Masjid Menara Kudus sebagai tanda datangnya Ramadan. Aksi tersebut memanggil masyarakat berkumpul. Namun alih-alih hanya memberikan ceramah, ia menggelar semacam pasar malam dengan pertunjukan wayang, musik gamelan, dan penjual makanan. Tentu semua itu dibalut dengan pesan-pesan moral Islami yang tersisip di dalamnya.

Hingga kini, tradisi Dandangan tetap dilestarikan dan menjadi event tahunan yang dinanti masyarakat Kudus dan sekitarnya. Uniknya, kegiatan ini melibatkan lintas agama, sebab semangatnya adalah kebersamaan dan kekeluargaan dalam menyambut bulan penuh berkah.


4. Makam Sunan Kudus dan Kompleks Ziarah: Magnet Spiritualitas dan Sejarah


Sunan Kudus dimakamkan di belakang Masjid Menara Kudus, tepatnya dalam kompleks pemakaman yang dikeramatkan dan selalu ramai diziarahi. Kompleks ini tak hanya jadi tempat spiritual, tapi juga ruang pembelajaran sejarah dan budaya Islam di Jawa.

Ziarah ke makam Sunan Kudus bukan sekadar ritual religius, tetapi juga napak tilas perjuangan dakwah yang penuh strategi dan kelembutan. Banyak peziarah yang datang dengan harapan mendapat keberkahan, tetapi tak sedikit pula pelajar dan peneliti yang datang untuk melihat langsung warisan peradaban Islam di masa lalu.

Ada kisah dari seorang kiai sepuh yang pernah berziarah ke sana, dan dalam mimpinya, ia bertemu Sunan Kudus yang mengatakan: "Ilmu bukan hanya apa yang kau hafal, tapi apa yang bisa kau amalkan untuk umat." Kisah ini menjadi pengingat bahwa perjuangan Sunan Kudus tidak berakhir di kuburnya, tapi terus hidup dalam ajaran dan keteladanan yang diwariskan.



Wafat dan Tempat Dimakamkan

Sunan Kudus wafat sekitar tahun 1550 M, dan dimakamkan di kompleks Masjid Menara Kudus. Meskipun telah tiada, ajaran dan semangat dakwahnya masih hidup dan relevan hingga hari ini.


Penutup

Sunan Kudus bukan hanya seorang penyebar Islam, tapi juga arsitek damai dan toleransi. Ia mengajarkan bahwa menyampaikan agama tidak harus dengan kekerasan atau pemaksaan. Ia membuktikan bahwa Islam bisa diterima dengan kelembutan, seni, budaya, dan kebijaksanaan.

Dari Kota Kudus, ia mewariskan pelajaran berharga: bahwa perbedaan bukan halangan untuk bersatu, dan bahwa ajaran Islam akan lebih mudah diterima jika disampaikan dengan hati yang lembut dan penuh cinta.




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sunan Gresik: Pelopor Dakwah Islam di Tanah Jawa

Sunan Muria: Ulama Sufi yang Menyatu dengan Rakyat Jelata